Kisah ini berawal dari pertemuanku dengan seorang pengangguran
berumur 35
tahun. Masyarakat menyebutnya dengan berbagai istilah seperti sampah,
berandalan, pengangguran, gembel bahkan orang gila. Aku tak mengerti
dosa apa yang telah ia perbuat sehingga dikucilkan seperti itu. Dia tak pernah
mencuri, tak pernah mengganggu orang, dia juga memakai baju walau sedikit lusuh
dan bau karena tak pernah diganti. Mungkin karena dia tak punya rumah sehingga
di olok-olok masyarakat.
Setiap pagi ketika aku berangkat sekolah ku lihat
sosok pengangguran itu tidur di atas tikar kardus di pinggir trotoar. Semua
orang yang lewat menjadi risih dan agak ketakutan seolah melewati comberan yang
menjijikkan. Sepulang sekolah aku
melihatnya mengorek-orek sampah di depan warung makan khas Padang, malangnya si pemilik sangat
pelit bahkan mengusirnya. Meskipun aku hanya anak SMP yang selalu merepotkan
tapi tak pernah terbesit bagiku untuk takut pada pengangguran itu. Aku
mendekatinya dan meninggalkan sebungkus kresek hitam berisi roti. Lalu aku
pergi meninggalkannya.
“Bocah...” langkahku terhenti karena panggilan itu. Kucoba untuk
menoleh, kulihat senyum sinis.
“Jangan buang sampah disini...”katanya, tapi aku pura-pura tuli dan
terus melangkah dan pura-pura tak mengerti apa-apa.
“Aku nggak butuh roti... berikan aku rokok.! Cepat!” teriak
pengangguran itu membuatku lari. Setelah menjauh darinya, seorang bapak-bapak
berdasi menasihatiku.
“Bodohnya kamu nak, jangan mendekati sampah kayak gitu...nanti
ketularan jadi busuk kamu” ujarnya sambil tertawa terkekeh. Sekali lagi aku
menulikan telingaku. Kamulah yang busuk pak. Orang dewasa itu gampang sekali
mengucapkan kata-kata keji tanpa mengetahui yang sebenarnya. Dari pada
menanggapi omongan bapak itu lebih baik aku pulang.
Bagaimanapun aku harus bersyukur. Meskipun aku tinggal di rumah
yang hampir ambruk tapi masih mending dibandingkan dengan pengangguran tadi
yang rumahnya sebatas tikar kerdus bekas. Kuucapkan salam dan meraih tangan
lembut ibu ku. Tangannya kasar dan bau bawang putih. Kutahan agar tidak mutah
dengan tersenyum memaksa. Ibu menjewerku.
“Terlambat pulang, jangan bilang kamu pergi mengunjungi saudaramu
itu.” Kata ibu kembali mengiris bawang putih. Kulepas seragam putihku dan
sepatuku sehingga hanya memakai kaos gantung. Sepertinya ibu sudah membaca
pikiranku. Sudah sejak lama aku mengamati gelandangan itu, sekitar sebulan yang lalu.
Kuceritakan pada ibuku dengan jujur dan blak-blakan betapa menyedihkan pengangguran itu.
“Sombong banget bu, pengangguran itu.... uang jajanku habis
kubelikan roti untuknya tapi dia bilang itu sampah dan tidak butuh. Eh malah
minta rokok....!” curhatku pada ibu sambil duduk di ruang makan menunggu makan
siang. Ibu hanya tersenyum kecil membawakan nasi sayur asem dan ikan asin.
“kamu juga keras kepala..... ” ujar ibu.
Kami tinggal berdua di rumah reot ini. Di antara pemukiman kampung,
kami lah yang paling miskin. Aku sungguh beruntung masih bisa sekolah dan
memiliki ibu yang hebat. Beliau menjadi ibu sekaligus menjadi ayah yang
membanting tulang demi aku dan masa depanku. Walau ibu hanya
bekerja sebagai tukang sapu, tapi itu cukup untuk menghidupi kami dan untuk
sekolahku.
“Ibu mau kerja lagi?” tanyaku menghentikan prosesi makan. Ibu
mengangguk dan siap-siap memakai seragam tukang sapunya. Luar biasa ibuku itu,
beliau baru saja selesai masak langsung beranjak kerja. Aku tidak habis pikir,
apakah ibu tidak merasa capek? Aku beruntung dilahirkan ibu seperti beliau.
“Bu...... Topan boleh minta uang lagi?” dan aku adalah anak yang
tidak tahu malu. Mungkin semua ibu diseluruh dunia akan memarahi anaknya
jika kelakuannya sepertiku. Tapi ibuku tidak. Dia selalu menuruti apa yang aku
inginkan. Ketika dia beranjak pergi bekerja, tanpa sengajar pelupuk mataku
berembun. Mungkin karena kepedasan.
Dan uang
itu pun kubelikan
rokok di dekat rumah kami. Kemudian aku datang lagi ke tempatnya, si
pengangguran. Kuberikan rokok itu walau hanya 2 batang.
“Bocah aneh, kau diberikan uang orang tuamu hanya untuk beli rokok?
Pantas saja jaman sekarang dinamakan jaman edan.” Dia menyalakan rokok itu dan
mengisapnya dengan kenikmatan. Menghembuskan dengan perlahan. Tiba-tiba aku
penasaran seperti apa merokok itu?
“Paman, aku ingin mencobanya juga dong...”pintaku sambil menyadongkan tangan. Dia memberikan
rokoknya. Kuisap rokok itu dengan semangat. Sesak. Dadaku sesak. Batuk-batuk
tak bisa dibendung lagi. Mataku merah berair. Heran, kenapa orang dewasa
bisa-bisanya mengisap racun itu. Ku pikir nyawaku akan melayang. Melihatku
menderita, pengangguran itu tertawa terpingkal-pingkal. Sial, aku
jadi bahan tertawaan. Paman itu perlahan-lahan menghentikan tawanya dan kembali
mengisap rokok, menghembuskan asapnya ke langit seakan asapnya mampu menjangkau
matahari. Tiba-tiba aku teringat berita Koran suara merdeka yang kutemukan di
bungkusan tempe goreng tadi pagi. Kalau tidak salah judulnya LAGI-LAGI PEMABUK
MATI DI JEMBATAN SAMBONG.
“Hei Bocah, besok bawakan rokok lagi ya,,,”pinta si pengangguran
itu sambil mengelus-elus punggungku. “Ngomong-ngomong namamu siapa bocah
brandal?”
Kukipatkan tangan kotornya. “Tidak sopan kau paman, memanggil bocah
yang memberimu rokok dengan brandalan. Apa kamu tidak punya kaca?” aku berdiri
tegap seolah aku adalah pahlawan superhero.
“Jangan remehkan aku paman, gini-gini Aku Angin Topan loh…!” kataku
sombong dengan menepuk dadaku. Dia tersenyum kecil. “Kalau paman pengangguran?”
dia tertawa lagi.
“Pengangguran ya hahahah benar-benar…” suaranya agak lemah. Apakah
kata-kataku terlalu menyakitinya. Maaf. Namun mulutku enggan meminta maaf.
“Nama Paman Samsul. Tapi orang seluruh dunia memanggil paman Sampah
Masyarakat. Disingkat Sammas.” Katanya menjelaskan. Sammas? Samsul? Sampah
Masyarakat? Istilah apa itu? Kalau kuceritakan ke teman sekolah pasti mereka
bakal tertawa. Aku mencoba menahan tawa.
“Kalau begitu aku akan memanggilmu Paman Sammas.” Putusku
tiba-tiba.
Sejak hari itu aku semakin dekat dengan Paman Sam. Ibu semakin
mengkhawatirkanku karena sepulang sekolah aku selalu bertemu dengan paman Sam.
Ajaibnya, paman Sam mulai jarang merokok dan memutuskan untuk tidak merokok
demi aku katanya? Kami sesama lelaki terkadang menceritakan masalah kehidupan. Aku menceritakan masalahku ketika di
sekolah sedangkan paman Sam menceritakan kisah hidupnya, mengajari pahitnya
kehidupan.
“Paman sam kenapa tidak pulang kerumah?” Tanya ku suatu ketika.
“Rumahku di sini bocah..langit sebagai atap, kardus sebagai lantai…
makan seadanya.. hidup ini memang penuh dengan keunikan….yang penting kita
menerimanya dan bersyukur ”. kata-kata paman Sam sempat membuatku terenyuh
“Bukan gitu paman, tapi …. Apa paman tidak memiliki rumah tempat
paman kembali? Kata ibuku rumah adalah tempat dimana orang memikirkanmu dan
mengharapkan kamu kembali dengan selamat. Aku jadi paham kenapa ibu cerewet
sekali ketika aku terlambat pulang…” oceh ku asal. Tiba-tiba mata paman Sam
berkaca-kaca.
“Paman sudah bilang kan? Kalau paman itu sampah masyarakat. Paman
tidak berani pulang kerumah sebelum paman menjadi sukses.”
“Paman ingin sukses? Kenapa paman malas-malasan begini? Cari kerja
lahh minimal..”omelku seakan jadi istri paman. Berani-beraninya bocah SMP
seperti ku menasihati orang tua.
“Berisik bocah kencur…!!!! Hidup nggak semudah omongan basimu. Kamu
akan mengerti setelah besar nanti. Kalau disuruh memilih paman ingin jadi
sepertimu selamanya saja.” Kata-katanya sungguh membuatku putus asa.
“Dasar!!! Paman jangan mengajari anak-anak yang tidak baik dong, ya sudah apa boleh aku akan membantumu biar jadi orang
sukses”. Kataku membuatnya tertawa. Sudah kuduga paman Sam sudah mencari berkeliling ke berbagai kota
namun tak kunjung ada yang mau menerimanya dan memberinya pekerjaan.
“Paman, paman pengen punya pekerjaan? Mau nggak aku kasih
pekerjaan?” tawarku agak bimbang. Sepertinya paman sedikit tertarik.
“Benarkah? Bolehkah? Paman mau!” raut muka paman kembali
bersemangat.
“ikut aku paman. Paman mau tidak jadi
penjaga rumah?” ujarku sambil menggandeng tanganya tanpa basa-basi. Paman Sam
tanpa perlawanan mengikutiku dan terus mengoceh.
“Maksudmu jadi satpam? Satpam kan? Atau body guard? Tapi paman nggak bisa berantem . kalau ada maling paman
lari
nggak apa-apa kan?”
“Oi pan,,, kok kita ke pemukiman kumuh sih…?
Emang yang harus dijaga pabrik kumuh ya? Haha…” kata paman Sam menghibur diri.
Kami berhenti di depan rumah reot. Rumahku.
“Ini rumahku, mulai sekarang paman Sam jagakan rumahku ya ….”
Kataku enteng. Paman sam masih terpana. Dia pasti tak pernah berpikir aku
tinggal di gubuk reot ini. Kuucapkan salam sambil memanggil ibu.
“Ibu aku bawa tamu.,,,” kataku sambil menyalami ibu. Ibuku sedikit
syok dan tak menyangka aku akan membawa pengangguran itu ke dalam rumah.
“Paman, duduk aja dulu, nyante aja di rumahku ya…” paman sam
sedikit kikuk seperti orang kesasar. Ibu menarik paksa tanganku dan membawaku
ke kamar.
“Apa maksudmu pan? Kenapa kamu membawa gembel itu ke rumah?” bisik
ibu tapi sadis di hatiku. Teganya ibu. Ku kira ibu akan menyukai paman Sam,
menyukai dalam arti sebagai pamanku juga tidak apa kan?
“Ibu… aku punya permintaan seumur hidup sekali. Aku janji tidak
akan meminta uang mulai sekarang. Tapi terimalah paman Sam untuk tinggal di
sini. Tenang saja dia tidak akan tinggal
gratis. Dia akan bekerja di sini Bu.” Kataku panjang lebar.
“Jangan gila! Gimana kalau dia mencelakai kita dan mengambil uang
kita?” bisik ibu menahan teriakan.
“Ibu tidak usah khawatir, aku akan menghajarnya” kataku mengepalkan
tinjuku. Ibu tampak putus asa. Dia menyerah, akhirnya paman Sam diperbolehkan
tinggal bersama kami. Paman Sam merasa tidak enak karena raut muka ibu
jelas-jelas tidak suka. Keberadaan paman Sam membawa perubahan di rumah kami. Terutama
bagi kehidupan paman Sam. Dulu paman Sam pecandu rokok, selalu berputus asa dan
malas-malasan menjadi rajin, tidak pernah merokok dan bersemangat. Setiap pagi
seperti biasa ibu menyiapkan sarapan untuk kami lalu bekerja menyapu. Karena
ada Paman Sam pekerjaan ibu menjadi ringan, tiap pagi paman Sam pergi ke pasar
untuk berbelanja, terkadang paman Sam membantu ikut mengurus rumah.
Jika dulu rumah kami redup karena kehilangan cahaya seorang ayah,
kini cahaya itu muncul dibawa paman Sam. Suatu ketika Paman Sam keluar ke
pasar, ibu bertanya kepadaku.
“Pan, apakah kamu rindu dengan ayah?” Tanya ibu tiba-tiba. Aku
heran maksud pertanyaan ibu, namun wajahnya tiba-tiba memerah.
Karena penasaran aku tanyakan kepada Paman Sam pada malamnya.
“Aku tidak tau.” Katanya seolah tidak mau tahu. Dia membalikan
punggungnya.
Ah, aku sama sekali tidak tau apa yang dipikirkan orang dewasa.
Esok harinya sepulang sekolah, Paman Sam menyambutku dengan riang,
dia menggendongku sampai kepundak seolah aku anak balita.
“ada apa sih paman Sam????” Tanya ku kaget.
“Alhamdulillah Pan,,,, akhirnya Paman Sam dipanggil buat
wawancara….!!!! ” teriak paman Sam kegirangan. Mendengarnya saja aku sangat senang. Akhirnya
paman Sam. Akhirnya Paman Sam tidak akan dipanggil sampah masyarakat. Akhirnya
paman Sam memiliki masa depan juga….
Ibu yang mendengarnya pun tidak kuat menahan haru.
“Mohon di doakan, agar segera diterima. Terima kasih atas semua
yang kalian berikan untuk ku selama ini. Berkat kalian aku tidak menjadi
gelandangan lagi. Berkat kalian aku
berani memandang masa depan dan terus berjuang. Terima kasih banyak! Aku
berjanji akan membalas jasa kalian!!!” kata paman Sam menitihkan bulir-bulir
air matanya. Entah kenapa mulutku terkunci, enggan mengucapkan kata perpisahan.
“Kalau Mas Sam belum dapat kerja, jangan sungkan-sungkan untuk
kembali ke sini, pintu rumah kami selalu terbuka…” ujar ibu menyembunyikan rasa
tidak rela. Ya, kami berdua tidak rela paman Sam pergi. Namun, dari awal ketemu
paman Sam , keinginanku adalah melepaskan paman Sam dari pengangguran dan
mendukungnya menjadi orang sukses.
“Jangan Menyerah Paman Sam, jaga dirimu baik-baik. Jangan merokok
ya. Harus sukses lo.” Pesanku yang terakhir untuk paman Sam.
Tidak terasa sudah seminggu tanpa paman Sam, rumah kami terasa
redup. Aku mencoba menciptakan suasana hangat agar ibu tidak murung. Namun,
semakin hari berganti semakin redup rumah kami. Kemudian aku menelepon
perusahaan yang dulu dilamar paman Sam. Namun, nihil.
“Maaf dik, disini tidak ada yang bernama Samsul.”
Paman Sam, paman sam sebenarnya di mana sekarang? Apakah paman Sam
pulang ke kampung halaman? Atau telah bekerja di tempat lain? Semoga, semoga
bahagia selalu. Air mataku menetes. Sesampai di rumah, tak kusangka kami
kedatangan tamu. Hatiku berbunga. Pasti paman Sam akan kembali.
“Sudah pulang pan? Ada tamu. Dia mencarimu….” Ujar ibu kembali
sumringah. Tidak dengan ku. Bukan paman Sam.
“Nama Saya Wahid Prakasa, saya teman Samsul ketika bertemu dalam
proses wawancara. Waktu itu kami adalah sama-sama pelamar dan kami berdua
mengikuti tes akhir. Salah seorang di antara kami akan terpilih menjadi
karyawan. Namun, tiba-tiba dia mengundurkan diri.” Kata paman Wahid.
“Sekarang paman Sam dimana om?” tanyaku.
“Saya tidak tau nak…dia berpesan pada om untuk menemui kamu dan
ibumu… sebetulnya saya sudah menikah namun, sudah bercerai. Kami berpisah dan
bercerai karena bagaimana pun saya memang laki-laki tak berguna yang tak bisa
menafkahi keluarga..akhirnya saya ditinggal nikah istri saya” kata paman Wahid
menceritakan masa lalunya.
Aku mati-matian menahan air mata, mencoba bertanya namun takut.
“Apakah sebelum wawancara paman menceritakan kisah paman pada paman
Sam?” Tanya ku hati-hati. Paman Wahid mengangguk. Seketika air mataku berderai.
Ibu mengerti perasaanku, dia terus mengelus pundakku.
Aku tak menyangka paman Sam mengorbankan dirinya untuk kebahagiaan kami dan
demi orang lain.
Akhirnya ibu menikah dengan paman Wahid. Hidup kami berkecukupan.
Kami tak lagi tinggal di gubuk reot. Bahkan sekarang aku berangkat sekolah naik
mobil.
Suatu hari ayah baru ku dan ibu menjemputku pulang sekolah naik
mobil, di tengah jalan aku melihat sosok yang kukenal.
“Ibu , ayah berhenti sebentar.!!!”
Mobil kami berhenti di trotoar.
Aku keluar dan memastikan apa benar yang telah kulihat.
“PAMAN SAMM…!!!!” panggilku pada seorang yang duduk di atas tikar kardus.
“Hai, angin topanku? Apa kabar? Lama tak jumpa? Paman rasa sekarang
Topan bahagia dengan keluarga baru? Selamat Nak”. Kata paman Sam dengan senyum
dan tawanya seperti biasa.
“Paman Sam bohong, kenapa paman berbohong? Bukankah paman berjanji
padaku akan menjadi orang sukses? Paman berjanji akan kembali kan?” cercaku
membati buta sehingga orang-orang sekitar kami menyangka kami sedang
bertengkar.
“Topan…. Ngapain ? cepat masuk!!!” kata ibu menaik paksa.
“Aku tau kamu paman…. Aku tau paman sam sengaja mengundurkan diri
untuk menolong ayahku kan? Paman …. Paman sammm…” teriakku
“Berbahagialah Angin topan,,,, datanglah membawa rokok hahhaa” kata
paman Sam sambil tertawa.
“Paman Sam Pembohong!!! Kenapa paman berkorban demi kami!!!
pamaann” teriakku terputus dipaksa masuk ke mobil.
Mobil kami meninggalkan jalanan itu, bayangan sosok paman Sam mulai
menjauh. Suasana mobil sangat menyesakkan. Bukan hanya aku yang menangis. Ibu
juga ayah menangis dalam diam. Aku berharap paman Sam bahagia di mana pun dia berada.
Meskipun tidak serumah dengan kami, kami tetap akan membukakan pintu rumah kami
untuk paman Sam.
Tahun demi tahun berlalu, tanpa sadar aku telah menginjak bangku
kuliah jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia. Teman-teman sekampusku gempar
bukan main karena di daerah Pekalongan digembar-gemborkan program Penyelamatan
anak terlantar dan gelandangan yang dirintis oleh seorang mantan gelandangan,
beliau adalah Samsul As Sammas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimaksih atas koment nya....